Kamis, 20 Oktober 2011
bisnis online kerja rumahan
Pertama diindonesia, Bisnis online yang terbukti membayar, kerja 1-2 jam perhari, gaji jutaan rupiah. Hanya ada di bisnis ODAP. Info selengkapnya klik http://www.penasaran.net/?ref=qfqvx5
Rabu, 19 Oktober 2011
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pemberian Imunisasi BCG
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI BCG PADA BAYI DI PUSKESMAS KECAMATAN
JATINEGARA JAKARTA TIMUR
TAHUN 2010-2011
Oleh :
SETTIYAWATI
0701029
Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Istara Nusantara
Jakarta Timur
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia TBC masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan penyebab utama kematian nomor satu untuk penyakit infeksi (Suhardi. 2006). Di Indonesia, program imunisasi terdiri atas
Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Selama ini program imunisasi wajib meliputi BCG, imunisasi wajib ini telah dilaksanakan di unit-unit pelayanan kesehatan maupun swasta (Burzi, Fransisco. 2006).
Imunisasi BCG wajib diberikan, seperti diketahui, di Indonesia termasuk negara endemis TB dan satu negara dengan penderita TB tertinggi di dunia (Vina dan Vani. 2008).
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) merupakan salah satu penyebab kematian bayi di Indonesia. Oleh karena itu, Depkes menganjurkan agar semua anak sebelum berusia 1 tahun telah mendapatkan imunisasi lengkap yaitu antara lain 1 kali imunisasi BCG (Cahyono, Kurniawan Dedi. 2003)
Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun. (I Nyoman Kandun, 2006). Penyakit TBC pada anak adalah fenomena yang sangat mencemaskan. Jumlah Kasus TBC pada anak di Indonesia sekitar seperlima dari seluruh Kasus TBC.
Di negara Indonesia, TBC masih merupakan penyakit rakyat yang mudah menular. Tidak tepat bila hanya mengharapkan perbaikan sosial ekonomi penduduk untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortilitas Tubercolusis. Di negara yang sudah berkembang penyakit ini sudah jarang ditemukan karena dilaksanakannya imunisasi BCG dengan luas, pengawasan ketat terhadap penderita TBC, dan perbaikan keadaan sosial ekonomi. Akan tetapi beberapa laporan tentang munculnya kembali penyakit TBC di negara maju akhir-akhir ini telah menimbulkan kekhawatiran serta telah dan antipisasi lebih lanjut, sehingga perlu dilakukan pengontrolan atas penyakit ini. (DepKes RI, tahun, 2003).
Seseorang akan menderita TBC karena terhisapnya percikan udara yang mengandung kuman TBC, yang berasal dari orang dewasa berpenyakit TBC. Mungkin juga bayi sudah terjangkit penyakit TBC waktu lahir. Ia terinfeksi kuman TBC sewaktu masih dalam kandungan, bila ibu mengindap penyakit TBC. Tetapi hal ini jarang terjadi. Pada anak yang terinfeksi, kuman TBC dapat menyerang berbagai alat tubuh. Organ yang diserangnya ialah paru (paling sering), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak. TBC selaput otak merupakan jenis TBC yang palin berat. Salah satu dari sekian banyak upaya pemberantasan penyakit TBC ialah imunisasi BCG. Dengan imunisasi BCG diaharapkan penyakit TBC dapat berkurang dan kejadian TBC yang berat dapat dihindari. (Kartasasmita, 2003)
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa data TBC di Jakarta Timur tahun 2010, di Kecamatan Jatinegara (93,99%), Cakung (82%), Cipayung (76,87%), Ciracas (72,43%), Duren Sawit (51,63%), Kramat Jati 48,26(%), Makasar (42,25%), Matraman 38,95(%), Pulo Gadung (33,31%) dan kecamatan Pasar Rebo (29,33%).
Dari grafik di atas menunjukkan bahwa angka kejadian TBC di Jakarta Timur yang tertinggi terdapat pada daerah Kecamatan Jatinegara yaitu 93,99%. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pemberian Imunisasi BCG Pada Bayi di Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur.
Dapat kita lihat dari tabel di atas data imunisasi BCG di Puskesmas Kecamatan Jatinegara tahun 2010 pada bulan Januari 20 bayi (36,8%), Februari 15 bayi (27,6%), Maret 15 bayi (27,6%), April 10 bayi (18,4%), Mei 11 bayi (20,24), Juni 16 bayi (29,44%), Juli 12 bayi (22,08%), Agustus 22 bayi (40,48%), September 23 bayi (42,32%), Oktober 27 bayi (49,68%), November 7 bayi (12,88%), dan Desember 6 bayi (11,04%). Hampir semua bayi di Kecamatan Jatinegara memberikan imunisasi BCG pada bayi nya.
Data di atas adalah data terakhir yang peneliti ambil dari Puskesmas Kecamatan Jatinegara di tahun 2011. Pada bulan Januari 2011 terdapat 27 bayi yg melakukan imunisasi BCG, bulan Februari 20 bayi, Maret 23 bayi, dan bulan April 31 bayi. Dari data di atas dapat kita simpulkan bahwa ibu yang memberikan imunisasi BCG pada bayi terdapat peningkatan pada bulan April, hal ini besar kemungkinan ibu untuk mencegah terjadinya tubercolosis dan mengurangi angka kejadian TB di indonesia secara dini. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian imunisasi BCG pada bayi.
B. Rumusan Masalah
Sejauh mana faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Kecamatan Jatinegara tahun 2010.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian imunisasi BCG pada bayi .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh umur terhadap imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur
b. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur
c. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur
d. Untuk mengetahui pengaruh motivasi terhadap imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur
e. Untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur
f. Untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi terhadap imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan
Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pemberian imunisasi BCG pada bayi.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan masukan yang bermakna dalam rangka peningkatan mutu program pemberian imunisasi BCG pada bayi.
3. Bagi Peneliti
Merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam menambah wawasan tentang pemberian imunisasi BCG pada bayi. Hasil penelitian di harapkan dapat menambah sumber informasi dan sebagai bahan bacaan untuk penelitian berikutnya.
BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN
A. Imunisasi
1. Definisi
Kata imun berasal dari bahasa Latin (immunitas) yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi, terhadap penyakit menular (Theophilus, 2000; Mehl dan Madrona, 2001).
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit (DepKes,2000). Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. (Hidayat, A. Aziz alimun 2008).
Imunisasi adalah reaksi antara antigen dan antibody yang merupakan kuman atau racun (toxin disebut sebagai antigen). Secara khusus antigen merupakan bagian dari protein kuman atau racun protein. Racunnya bila antigen untuk pertama kalinya masuk kedalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti terhadap racun kuman yang disebut antibody. (Riyadi Sujono, 2009)
Pemberian imunisasi terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh dan membuat sendiri zat anti setelah suatu rangsangan antigen dari luar tubuh, misalnya rangsangan virus yang telah dilemahkan pada imunisasi polio atau campak. Setelah rangsangan ini kadar zat anti dalam tubuh anak akan meningkat, sehingga anak menjadi kebal.
Kekebalan aktif dibagi menjadi dua yaitu :
1) Kekebalan aktif alamiah
Dimana tubuh anak membuat kekebalan sendiri setelah mengalami sembuh dari penyakit, misalnya : campak. Setelah sembuh tidak akan terserang campak lagi karena membuat zat penolak terhadapa penyakit.
2) Kekebalan aktif buatan
Kekebalan yang dibuat tubuh setelah mendapat vaksin (imunisasi). Misalnya : anak diberi vaksin BCG, DPT, Polio.
b. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif adalah imunisasi yang dilakukan dengan penyuntikan sejumlah zat anti, sehingga proses cepat terjadi dengan dua hal yaitu :
1) Kekebalan Pasif Alamiah
Kekebalan yang diperoleh oleh bayi sejak lahir ibunya. Kekebalan ini tidak berlangsung lama (kurang lebih hanya 5 bulan setelah bayi lahir) misalnya : difteri, morbili, tetanus.
2) Kekebalan Pasif Buatan
Kekebalan ini diperoleh setelah mendapat suntikan zat penolakan, misalnya ATS (Anti Tetanus Serum).
Jenis Vaksin Yang Digunakan Di Indonesia Ada Dua Yaitu :
a. Vaksin dari kuman hidup yang dilemahkan :
· Virus campak dalam vaksin campak
· Kuman TB dalam vaksin TB
· Virus polio dalam jenis sabin pada vaksin polio
b. Vaksin dari kuman yang dimatikan
· Bakteri pertusis dalam DPT
· Virus polio jenis SALK dalam vaksin polio
· Racun kuman seperti TT
· Vaksin dibuat oleh protein.
Syarat Pemberian Vaksin
a. Pada bayi atau anak yang sehat
b. Vaksin harus baik, disimpan dalam kulkas dan belum kadaluarsa
c. Pemberian imunisasi dengan tehnik yang cepat
d. Mengetahui jadwal imunisasi dengan melihat umur dan jenis imunisasi yang telah diterima
e. Meneliti vaksin yang akan diberikan
f. Memperhatikan dosis yang akan diberikan
Reaksi Yang Mungkin Terjadi Setelah Imunisasi :
a. Reaksi lokal
Pada tempat penyuntikan terjadi pembengkakan kadang disertai demamm, agak sakit. Pada keadaan sperti ini ibu tidak usah panik sebab panas akan sembuh dan kekebalan telah dimiliki bayi atau anak.
b. Reaksi Umum
Dapat terjadi kejang atau syok. Pada keadaan ini ibu harus konsultasi ke dokter atau bidan.
2. Vaksinasi
Vaksinasi adalah pemberian vaksin kedalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksinasi sering juga disebut imunisasi. (Wikipedia).
Vaksin berasal dari kata Vaccinia yaitu penyebab cacar sapi yang ketika diberikan kepada manusia akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar. Pengertian vaksin itu sendiri adalah bahan antigenic yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar.
Semua vaksin mempunyai 3 jenis bahan utama, antara lain :
a. Bahan kuman.
Bahan kuman adalah organisme hidup berupa virus dan bakteri yang telah dilemahkan atau berupa virus dan bakteri yang telah dibunuh atau tidak aktif atau juga berupa toksoid yang terbuat dari toksin (racun) yang sudah di non-aktifkan yang diproduksi oleh virus dan bakteri.
b. Bahan-bahan yang ditambahkan untuk menjalankan berbagai fungsi.
Adapun bahan-bahan tambahan yang dimasukkan dalam vaksin, antara lain :
Adapun bahan-bahan tambahan yang dimasukkan dalam vaksin, antara lain :
1) Aluminium
Aluminium berfungsi untuk mendorong fungsi antibodi. Logam ini dikenal sebagai kemungkinan penyebab kejang, alzhaimer, kerusakan otak dan dementia (pikun). Aluminium terdapat dalam vaksin DPT, DaPT dan hepatitis
Aluminium berfungsi untuk mendorong fungsi antibodi. Logam ini dikenal sebagai kemungkinan penyebab kejang, alzhaimer, kerusakan otak dan dementia (pikun). Aluminium terdapat dalam vaksin DPT, DaPT dan hepatitis
2) Formaldehida (formalin).
Formaldehyde (formalin) digunakan untuk menon-aktifkan kuman. Formalin dikenal sebagai bahan karsinoma (penyebab kanker).
3) Fenol.
Fenol dalam dosis tertentu sangat beracun dan lebih membahayakan daripada sekedar merangsang imun, sehingga dianggap berlawanan dengan tujuan pembuatan vaksin. Fenol antara lain digunakan dalam proses pembuatan vaksin tifoid.
Fenol dalam dosis tertentu sangat beracun dan lebih membahayakan daripada sekedar merangsang imun, sehingga dianggap berlawanan dengan tujuan pembuatan vaksin. Fenol antara lain digunakan dalam proses pembuatan vaksin tifoid.
4) Thimerosal
Thimerosal berfungsi sebagai pengawet. Bahan ini mengandung hamper 50 persen etilmerkuri yang berarti mempunyai sifat seperti air raksa.
Thimerosal berfungsi sebagai pengawet. Bahan ini mengandung hamper 50 persen etilmerkuri yang berarti mempunyai sifat seperti air raksa.
5) Gelatin
Gelatin merupakan bahan yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang terdapat pada tulang dan kulit hewan terutama sapi dan babi. Gelatin antara lain digunakan dalam proses pembuatan vaksin MMR dan varicella. Bahayanya sama seperti bahaya pada formalin.
Gelatin merupakan bahan yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang terdapat pada tulang dan kulit hewan terutama sapi dan babi. Gelatin antara lain digunakan dalam proses pembuatan vaksin MMR dan varicella. Bahayanya sama seperti bahaya pada formalin.
6) Benzetonium klorida, glutamate, neomisin.
c. Biakan dimana vaksin dibuat.
Dalam proses pembuatan vaksin, bakteri yang beracun atau virus yang hidup akan dilemahkan dengan cara berulang-ulang dilewatkan melalui suatu media biakan antara lain jaringan otak kelinci, jaringan marmot, jaringan ginjal anjing, jaringan ginjal monyet, embrio ayam, atau protein telur ayam atau bebek dan kerap kali menggunakan jaringan janin manusia yang digugurkan.
Protein hewani yang berasal dari media biakan vaksin akan masuk ke dalam tubuh manusia tanpa melalui proses pencernaan (melalui suntikan langsung ke dalam aliran darah). Protein yang tidak dicerna adalah penyebab utama alergi dan juga bisa menyerang jaringan pelindung sel-sel syaraf dan menimbulkan kerusakan dalam system syaraf.
3. Vaksin BCG
Imunisasi BCG adalah vaksinasi hidup yang diberikan pada bayi untuk mencegah terjadinya penyakit TBC. (Dirjen PPM dan PLP, 1989 : 71).
BCG berasal dari strain bovinum M. Tuberculosis oleh Calmette dan Guerin yang mengandung sebanyak 50.000 – 1.000.000 partikel/ dosis. Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M. tuberculosis yang hidup, karenanya bisa berkembang biak dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibody seumur hidup. Selain itu, pemberian 2 atau 3 kali tidak berpengaruh sehingga vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. (Hendrawan, www.artikel.php.htm.com.id, 2003).
BCG berasal dari strain bovinum M. Tuberculosis oleh Calmette dan Guerin yang mengandung sebanyak 50.000 – 1.000.000 partikel/ dosis. Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M. tuberculosis yang hidup, karenanya bisa berkembang biak dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibody seumur hidup. Selain itu, pemberian 2 atau 3 kali tidak berpengaruh sehingga vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. (Hendrawan, www.artikel.php.htm.com.id, 2003).
Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening , tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (yang terberat). Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian imunisasi ini "berhasil," maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan timbul benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas. Biasanya setelah suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam. Pemberian Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberkulosis ( TBC ), Imnunisasi ini diberikan hanya sekali sebelum bayi berumur dua bulan. Reaksi yang akan nampak setelah penyuntikan imunisasi ini adalah berupa perubahan warna kulit pada tempat penyuntikan yang akan berubah menjadi pustula kemudian pecah menjadi ulkus, dan akhirnya menyembuh spontan dalam waktu 8 – 12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut, reaksi lainnya adalah berupa pembesaran kelenjar ketiak atau daerah leher, bila diraba akan terasa padat dan bila ditekan tidak terasa sakit. Komplikasi yang dapat terjadi adalah berupa pembengkakan pada daerah tempat suntikan yang berisi cairan tetapi akan sembuh spontan.
Vaksin BCG atau pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberculosis (TBC) vaksin BCG mengandung kuman BCG (Bacillus calmet-Guerin) yang masih hidup. Jenis kuman TBC ini telah dilemahkan. Dimana Tuberculosis merupakan penyakit rakyat yang mudah menular di Indonesia dan di Negara yang sedang berkembang lainnya. Seorang anak menderita TBC karena terhisapnya percikan udara yang mengandung kuman TBC, yang berasal dari orang dewasa berpenyakit TBC. Mungkin juga bayi sudah terjangkit penyakit TBC sewaktu lahir. Ia terinfeksi kuman TBC sewaktu masih dalam kandungan, bila ibu mengidap penyakit TBC. Pada anak yang terinfeksi, kuman TBC dapat menyerang berbagai alat tubuh yang diserangnya adalah paru ( paling sering ), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak. Salah satu upaya dari banyak upaya pemberantasan penyakit TBC ialah imuniasi BCG. Dengan imunisasi BCG diharapkan penyakit TBC dapat berkurang dan kejadian TBC yang berat dapat dihindari.
4. Cara Imunisasi BCG
Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir, sampai bayi berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0 – 2 bulan. Hasil yang memuaskan terlihat apabila diberikan menjelang umur 2 bulan. Imunisasi BCG cukup diberikan 1 kali saja, pada anak yang berumur lebih dari 2 bulan, dianjurkan untuk melakukan uji mantoux sebalum imunisasi BCG, gunanya untuk mengetahui apakah untuk mengetahui apakah ia telah terjangkit penyakit TBC. Seandainya hasil uji mantoux positive, anak tersebut selayaknya tidak mendapatkan imunsasi BCG Tetapi bila imunisasi dilakukan secara masal, maka pemberian suntikan BCG dilaksanakan secara langsung tanpa uji mantoux terlebih dahulu. Hal ini dilakukan mengingat pengaruh beberapa factor, seperti segi teknis penyuntikan BCG, keberhasilan program imunisasi, segi epidemiologis dan lain – lain.
Penyuntikan BCG tanpa dilakukan uji mantoux pada dasarnya tidaklah membahayakan. Bila pemberian imunisasi BCG itu berhasil, setelah beberapa minggu ditempat suntikan akan terdapat suatu benjolan. Tempat suntikan itu kemudian berbekas. Kadang – kadang benjolan tersebut bernanah, tapi akan menyembuh sendiri meskipun lambat. Sesuai kesepakatan maka biasanya penyuntikan BCG dilakukan di lengan kanan atas. Karena luka suntikan meninggalkan bekas dan mengingat segi kosmetiknya, pada bayi perempuan dapat diminta sutikan di paha kanan atas
5. Kekebalan
seperti telah diuraikan diatas, jaminan imunisasi tidaklah mutlak 100% bahwa anak anda akan terhindar sama sekali dari penyakit TBC. Seandainya bayi yang telah mendapat imunisasi terjangkit juga penyakit TBC, maka ia akan terhindar dari kemungkinan mendapat TBC berat, seperti TBC paru parah, TBC tulang, atau TBC selaput otak yang mengakibatkan cacat seumur hidup dan membahayakan jiwa anak muda.
6. Reaksi Imunisasi
Biasanya setelah suntikan BCG bayi tidak akan menderita demam. Bila ia demam setelah imunisasi BCG umumnya disebabkan oleh keadaan lain. Untuk hal ini dianjurkan agar berkonsultasi dengan dokter.
a) Tanda Keberhasilan Vaksin
Tanda keberhasilan vaksinasi BCG berupa bisul kecil dan bernanah pada daerah bekas suntikan yang muncul setelah 4-6 minggu. Benjolan atau bisul setelah vaksinasi BCG memiliki ciri yang sangat khas dan berbeda dari bisul pada umumnya. Bisul tersebut tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan bila disentuhpun tidak terasa sakit. Tak hanya itu, munculnya bisul juga tak diiringi panas. Selanjutnya, bisul tersebut akan mengempis dan membnetuk luka parut.
b) Bila ada reaksi berlebih
Tingkat kewaspadaan bila ternyata muncul reaksi berlebih pasca vaksinasi BCG. Misal, benjolan atau bisul itu lama tidak sembuh-sembuh dan menjadi koreng. Atau, malah ada pembengkakan pada kelenjar di ketiak (sekelan). Ini dapat merupakan pertanda si anak pernah terinfeksi TB sehingga menimbulkan reaksi berlebih setelah divaksin. Sebaiknya segera periksakan kembali ke dokter, setiap infeksi selalu diikuti oleh pembesaran kelenjar limfe setempat (regional) sehingga bisa diraba. Jadi infeksi ringan akibat vaksinasi di lengan atas akan menyebabkan pembesaran kelenjar limfe ketiak. Jika terjadi pada pangkal paha, akan terjadi pembesaran kelenjar limfe di lipatan paha. Namun efek samping ini tidak terjadi pada bayi. Yang brisiko apabila bayi tersebut sudah terinfeksi TB sebelum vaksinasi.
c) Bila tidak Timbul benjolan
Orang tua tak perlu khawatir bila ternyata tidak muncul bisul/benjolan di daerah suntik. Jangan langsung beranggapan bahwa vaksinasinya gagal. Bisa saja itu terjadi karena kadar antibodinya terlalu rendah, dosis terlau rendah, daya tahan anak sedang menurun (misalnya anak dengan gizi buruk) atau kualitas vaksinasinya kurang baik akibat cara penyimpanan yang salah. Meski begitu, antibodi tertap terbentuk tetapi dalam kadar yang rendah. Jangan khawatir, di daerah endemis TB (penyakit TB terus-menerus ada sepanjang tahun) seperti Indonesia, infeksi alamiah akan selalu ada. Booster-nya (ulangan vaksinasi) bisa didapat dari alam, asalkan anak pernah divaksinasi sebelumnya.
d) Efeksi Samping
Umumnya pada imunisasi BCG jarang dijumpai akibat samping. Mungkin terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang terbatas dan biasanya menyembuh sendiri walaupun lambat. Bila suntikan BCG dilakukan dilengan atas, pembengkakan kelenjar terdapat di ketiak atau leher bagian bawah. Suntikan di paha dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar di selangkakan. Komplikasi pembengkakan kelenjar ini biasanya disebabkan karena teknik penyuntikan yang kurang tepat, yaitu penyuntikan terlalu dalam. Dalam masalah komplikasi yang ringan ini, bila terdapat keraguan dipersilahkan anda berkonsultisai dengan dokter.
e) Kontra Indikasi
Tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali pada anak yang berpenyakit TBC atau menunjukkan uji mantoux positif
1) Pemberian imunisasi BCG biasanya dilakukan sedini mungkin, dalam waktu beberapa hari setelah bayi lahir.
2) Cara pembeian imunisasi BCG bagi perorangan berlainan dengan pemberian secara masal.
3) Imunisasi BCG secara masal tanpa didahului uji mauntoux, tidak membahayakan.
4) Dengan imunisasi BCG anak anda diharapkan akan bebas terjangkit penyakit TBC. Setidak-tidaknya ia terhindar dari penyakit TBC yang berat dan parah.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pemberian Imunisasi BCG
Penyebaran masalah kesehatan berbeda untuk tiap individu, kelompok dan masyarakat dibedakan atas tiga macam yaitu : Ciri-ciri manusia/karakteristik, tempat dan waktu. salah satu faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri manusia atau karakteristik .Yang termasuk dalam unsur karakteristik manusia antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan,status sosial ekonomi,ras/etnik,dan agama.Sedangkan dari segi tempat disebutkan penyebaran masalah kesehatan dipengaruhi oleh keadaan geografis, keadaan penduduk dan keadaan pelayanan kesehatan.Selanjutnya penyebaran masalah kesehatan menurut waktu dipenaguruhi oleh kecepatan perjalanan penyakit dan lama terjangkitnya suatu penyakit. Begitu juga halnya dalam masalah status imunisasi dasar bayi juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan faktor tempat,dalam hal ini adalah jarak rumah dengan puskesmas/tempat pelayanan kesehatan. Pada penelitian ini ,karakteristik ibu yang peneliti diteliti adalah :
1. Umur
Umur adalah lamanya seseorang hidup sejak dilahirkan sampai saat ini. Dalam satuan tahun dan juga merupakan periode terhadap pola-pola kehidupan baru demikian bertambah pula umur semakin tinggi keinginan seseorang tentang kesehatan (Notoadmojo, 2003).
Usia dewasa (18-40 tahun) merupakan masa dimana seseorang secara maksimal dapat mencapai prestasi yang memuasakan dalam karirnya pada usia tengah (41-60 tahun) seseorang tinggal mempertahankan prestasi yanh telah dicapainya pada usia dewasa sedangkan usia tua (> 60 tahun) adalah usia tidak produktif lagi dan hanya menikmati hasil dari prestasi (Hurlock 1998).
Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama. Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya risk serta sifat resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap masalah kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh umur individu tersebut (Noor,N.N,2000).
Beberapa studi menemukan bahwa usia ibu, ras,pendidikan, dan status sosial ekonomi berhubungan dengan cakupan imunisasi dan opini orang tua tentang vaksin berhubungan dengan status imunisasi anak mereka.( Ali, Muhammad, 2002) .
Dari penelitian Ali,Muhammad (2002) didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi (p < 0,05).Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Lubis (1990;dalam Ali,Muhammad,2002).Penelitian Salma Padri,dkk (2000) juga menemukan bahwa faktor utama yang berhubungan dengan imunisasi adalah umur ibu (OR 2,53 95% CI: 1.21 -5.27).Selanjutnya hasil penelitian Ibrahim D.P.(2001) menunjukkan bahwa karakteristik ibu yang erat hubungannya dengan status imunisasi umur ibu yaitu umur ibu yang dihitung sejak lahir sampai saat penelitian.
2. Pendidikan
Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat.
Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.Pemahaman ibu atau pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oeleh tingkat pendidikan ibu.(Ali,Muhammad,2002).
Semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengatehuan semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan pendapat Slamet, Singarimbun , juga menyebutkan kelengkapan status imunisasi anak tertinggi pada ibu yang berpendidikan SLTP keatas sebanyak 30,1%.Berdasarkan penelitian Idwar (2001) juga disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu maka makin besar peluang untuk mengimunisasikan bayinya yaitu 2,215 kali untuk pendidikan tamat SLTA/ke atas dan 0,961 kali untuk pendidikan tamat SLTP/sederajat. Ibu yang berpendidikan mempunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan di sekolah.
Diantaranya menurut Singarimbu, menyebutkan kelengkapan status imunisasi anak tertinggi pada ibu yang berpendidikan SLTP keatas sebanyak 30,1%. Syahrul,Fariani.,dkk (2002) dalam kesimpulan penelitiannya juga mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahun ibu dan keterpaparan informasi dengan status imunisasi,tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi sebagian besar (73,0%) sudah baik Namun demikian juga masih didapat sebagian kecil (4%) yang tergolong kurang.
Berdasarkan hasil penelitian Cahyono,K.D.,(2003) memberikan gambaran bahwa anak mempunyai kesempatan lebih besar untuk tidak diimunisasi lengkap bagi yang ibunya tinggal di perdesaan, berpendidikan rendah,kurang pengetahuan, tidak memiliki KMS (Kartu Menuju Sehat), tidak punya akses ke media massa ( surat kabar/majalah, radio, TV), dan ayahnya berpendidikan SD ke bawah. Semakin banyak jumlah anak, semakin besar kemungkinan seorang ibu tidak mengimunisasikan anaknya dengan lengkap.Selanjutnya Masykur (1983) dalam kesimpulan penelitiannya juga menyatakan ibu-ibu yang tahu tentang imunisasi tertinggi pada ibu yang tamat SLTA yaitu 80,7% dan secara statistik menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan ibu tentang imunisasi. Menurut Lubis(dalam Ali,Muhammad,2002),dari suatu penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa kurangnya peran serta ibu rumah tangga dalam hal ini disebabkan karena kurang informasi (60-75%),kurang motivasi (2-3%) serta hambatan lainnya (23-37%).
Slamet (1999), menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengatehuan semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. Menurut Azwar, merupakan suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat.
Pendidikan kesehatan dapat membantu para ibu atau kelompok masyarakat disamping dapat meningkatkan pengetahuan juga untuk meningkatkan kemampuan (perilakunya) untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi terlaksananya kegiatan pelaksanaan imunisasi anak/ bayi, baik itu pendidikan formal maupun non formal. Tahap pendidikan sangat menentukan kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah dalam kehidupannya baik dilingkungan sosial maupun dilingkungan kerjanya.
Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan diimunisasi secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki sikap yang buruk tentang imunisasi.Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang- orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen yang tinggi terhadap imunisasi.Jika suatu program intervensi preventif seperti imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan persoalan pada anak dan remaja, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat dan peningkatan pengetahuan sangat diperlukan.(Ali,Muhammad,2002).
3. Pengetahuan
Menurut Rahman (2003), pengetahuan adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya.
Notoatmodjo (2003) berpendapaat bahwa, Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telingah.
4. Motivasi
Menurut Handoko (1992) mengatakan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisir tingkah lakunya. Faktor yang dimaksud adalah kebutuhan, bila individu merasakan suatu kebutuhan maka akan mendorong individu tersebut untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Dari hasil penelitian ini gambaran motivasi responden terhadap imunisasi dikatakan baik. Motivasi responden yg baik ini kemungkinan disebabkan oleh kuatnya ibu/keluarga memotivasi responden untuk membeikan imunisasi terhadap anaknya.
Hasil penelitian dari Masykuri (1983) yang mengatakan bahwa yang menentukan ank nya di imunisasi adalah ibu. Dari hasil uji statistik ditemukan bahwa motivasi dari diri ibu sendiri sangat besar pengaruhnya terhadap pemberian imunisasi pada anaknya. Dah hal ini juga menentukan kesehatan keluarga. Ini dapat dilihat 75% ibu memiliki motivasi yang kuat mengimunisasikan bayi nya, sedangkan sisanya 25% tidak memiliki motivasi yang kuat untuk mengimunisasikan bayi nya.
5. Lingkungan
Lingkungan adalah suatu kesehatan lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Lingkungan yang kurang bersih dan tempat pemukiman yang padat penduduknya merupakan salah satu faktor penularan TB paru yang paling cepat dan sangat sulit bagi pemerintah indonesia dan petugas kesehatan untuk memutuskan rantai penularan karena tempat pemukiman yang saling berdekatan. Dan kurangnya pengetahuan masyarakat dalam memodifikasi lingkungan rumah seperti ventilasi yang kurang sehingga sinar matahari dan sirkulasi udara tidak dapat masuk kedalam rumah yang mmengakibatkan basil dan kuman TB menetap ditempat tersebut (DepKes, 2007).
6. Sosial Ekonomi
Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang berbeda berdasarkan status sosial ekonomi pada umumnya dipengaruhi oleh 2 (dua) hal, yaitu :
a) Karena terdapatnya perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegah penyakit atau mendapatkan pelayanan kesehatan.
b) Karena terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku hidup yang dimiliki.(Azwar,Azrul).
Menurut Noor,N.N (2000) menyebutkan berbagai variabel sangat erat hubungannya dengan status sosial ekonomi sehingga merupakan karakteristik. Status sosial ekonomi erat hubungannya dengan pekerjaan/jenisnya, pendapatan keluarga, daerah tempat tinggal/geografis, kebiasaan hidup dan lain sebagainya. Status ekonomi berhubungan erat pula dengan faktor psikologi dalam masyarakat.
C. Penelitian Terkait
Selama pembuatan skripsi ini peneliti menemukan skripsi peneliti lain yang membahas masalah yang sama dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu tentang ”Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu dengan Waktu Pemberian Imunisasi BCG”.
Langganan:
Postingan (Atom)